HUTAN di Indonesia sudah tak lagi perawan atau utuh. Saya sebagai manusia adalah kambing hitam yang pantas dalam permasalahan kerusakan hutan ini. Meskipun saya bukan penebang liar atau pendaki yang mencomotbaby-plant ketika ber-hiking ria sambil mengatakan ‘betapa lucu tanaman ini, betapa indah’, tapi saya seperti perwakilan dari mereka, umat manusia. Dan ketika saya takjub pada skenario animasi Wall-E yang dibuat Pixar Animation Studios
mengenai perpindahan manusia ke planet lain karena bumi tak lagi layak huni, bukan tak mungkin dunia kelak akan mengalami bencana besar. Itu pun jika para ilmuan berhasil menemukan cara mendarat di planet asing yang cocok ditempati bagai mengekspansi Planet Pandora dalam film Avatar. Betapa setelah sesuatu kita gunakan dan mewujud sampah, orang-orang akan mencari area lain untuk memulai awal baru –meski mungkin akan melakukan kesalahan yang sama: merusaknya kembali.
Kerusakan hutan di Indonesia menjadi yang tercepat keempat di dunia setelah AS, Brazil dan Cina, dan penebar emisi karbon ketiga setelah AS dan Cina. Tapi konon selama belum menduduki peringkat satu, perkara macam begini belum pantas dipusingkan. Namun apakah benar? Ketika Indonesia ditetapkan di peringkat pertama sebagai negara dengan tingkat korupsi paling tinggi sebagai hasil survei dari Political and Economic Risk Consultancy di Hongkong, sebagian dari kita mungkin bergeming. Bergeming karena tidak tahu atau tahu, atau tak peduli. Sementara kerusakan hutan melanda di berbagai belahan dunia dengan tingkat penipisan tumbuhan dan ketumbangan pepohonan yang tinggi. Fakta ini membuat saya lega, sebab negara lain pun melakukan kekeliruan yang yang sama. Namun kerusakan hutan adalah masalah dunia. Yang bertanggung jawab adalah umat manusia.
Keberadaan hutan memiliki kontribusi sangat penting dalam kelangsungan makhluk hidup. Hutan adalah rumah bagi hewan, akar pepohonannya menyerap air hujan dan mencegah longsor pula banjir, tanpa hutan tanpa pula udara segar yang terhirup, tanpa hutan tak ada pula sejenis kayu untuk tempat tinggal manusia. Namun ketika penggunaan hutan dinilai kebablasan, ditambah dengan pihak tak bertanggung jawab yang turut serta dalam hal perusakan, maka terjadilah apa yang orang-orang katakan dengan global warming. Frase yang begitu familiar dan sempat menjadi isu hangat dalam berbagai media cetak juga televisi. Dan tahukah, meski frase (global warming) itu akan sangat keren dilafalkan dengan aksen Inggris sebagaimana sebuah model iklan pewangi menyebut kata parfum dengan parvium, efek yang ditimbulkannya konon beresiko menyebabkan kepunahan.
Akhirnya sebut saja dengan pemanasan global yang bisa didefinisikan sebagai peningkatan suhu rata-rata permukaan bumi akibat naiknya intensitas efek rumah kaca (penyerapan sinar panas atau infra merah dari bumi oleh atmosfer).
Ini menyebabkan bumi tak memiliki penyaring karbon dioksida yang merupakan hasil pembakaran dari batu bara, kayu atau bahan bakar minyak. Dan salah satu dampak dari gejala alam ini adalah kebakaran hutan. Di Tanah Air, korban bergelimpangan akibat longsor dan banjir akibat kerusakan hutan. Menurut World Reseach Institute, sebuah lembaga riset di Amerika Serikat, dari 130 juta hektar tutupan hutan di Indonesia, 72 persennya telah hilang. Dan menurut WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) kerusakan hutan di Indonesia mencapai 3,8 juta hektar setahun. Itu berarti 7,2 hektar rusak setiap satu menit (Tempo Interaktif, Mei 2004) dan menimbulkan korban jiwa, pengungsian warga, juga pendegradasian kondisi lingkungan. Selain kualitas air menjadi tercemar sehingga tak layak minum, penyakit infeksi saluran pernapasan dan batuk adalah akibat lain dari berbahayanya asap kebakaran.
Tak hanya itu, demi kepentingan ekonomi sumber daya alam ini digunakan negara untuk mendapatkan produk ekspor semacam kayu, bahan tambang dan hasil hutan lainnya. Ini perlu dimaklum mengingat dunia industri di tanah air belum mencapai perkembangan optimal. Demi bersaing di kancah global dan berkubang dalam keterhimpitan hutang luar negeri, Indonesia terpaksa mengeksplorasi hutan untuk mendapatkan devisa ekspor. Maka redamlah wacana mengenai pentingnya melestarikan lingkungan pada masyarakat. Bukankah mengakselerasi pelunasan hutang lebih urgen ketimbang memikirkan nikmatnya menjaga hubungan ekologi? Jadi tak begitu heran saat Indonesia menjadi pengekspor terbesar kayu lapis (plywood) di pasar dunia.
Suatu ketika saya tahu bahwa betapa pentingnya menggunakan kertas HVS bekas di halaman yang kosong untuk sekedar mengeprint karya tulis. Itu artinya saya menjadi orang yang menentang aktivitas illegal loging (penebangan hutan secara liar). Sama halnya ketika saya tidak melulu menggunakan sepeda motor kemana-mana demi merepresi fenomena kemacetan di Jakarta dan pencemaran udara dari asap knalpot.
Sama pula dengan saat saya membuang sampah tak sembarangan meski di berbagai tempat publik tak disediakan tempat sampah organik dan anorganik. Dan jika hanya saya menjadi satu-satunya yang melakukan, apalah artinya? Apakah seperti kesia-siaan? Maksud saya, warga sipil di pedalaman tidak akan menebang pohon jika taraf hidup mereka baik. Illegal loging tak akan lagi terjadi jika pemerintah tegas dalam menghukum para pelaku kejahatan sejenis itu. Betapa perlu menjaga koordinasi antara kepolisian, kejaksaan dan pengadilan agar kasus serupa dapat terungkap sehingga pelaku dibalik pembabatan hutan itu diselkan. Mengingat penegakan hukum lebih sering dialamatkan pada pelaku upahan atau suruhan, sosok-sosok yang memang tak bertanggung jawab pada penggundulan hutan, orang-orang kecil yang melakukan aktivitas yang mereka sebut sebagai pekerjaan.
Sementara itu organisasi sosial nonprofit atau komunitas pecinta alam di kampus-kampus yang bereaksi atas pengelolaan sumber daya alam yang diluar kendali, memasyarakatkan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan. Seperti satu di antara seribu mereka giat mengampanyekan gerakan lingkungan hidup di tengah sorak sorai media dan perhatian masyarakat terhadap kasus korupsi yang kian menyengat tercium atau kasus memalukan video mesum mirip artis. Aksi sosial tersebut sebenarnya rentan dianggap angin lalu oleh kebanyakan masyarakat. Agak susah ketika sesuatu sudah membudaya dalam diri masing-masing personal. Ketika gema anti pemanasan global dan aksi lingkungan hidup beraung tak hanya kesadaran pribadi yang perlu ditingkatkan, melainkan peran serta pemerintah. Memang klasik, tapi isu pelestarian lingkungan hidup yang selama ini berada di bawah titik marginal perlu ditekankan agar tak lagi menjadi sampel, melainkan hal yang wajib dilakukan. Dan bahwa kebersihan akan mempertinggi martabat bangsa, mendatangkan lebih banyak turis mancanegara karena tempat pariwasata yang mengilap dan lestari, dan kesejahteraan sosial yang merata selama merujuk pada perundang-undangan yang jelas dan tidak timpang. Beruntung pemerintah berencana menjadikan gerakan lingkungan hidup dalam rencana aksi nasional kesehatan dan lingkungan Tahun 2010-2015 meski masih dalam tahap penyusunan. Bukan tak mungkin setiap warga sipil akan taat lingkungan setelah gerakan nasional itu benar-benar lahir.
Lalu apa yang akan saya lakukan selanjutnya? Apakah hanya akan terpekur sendiri ketika pada suatu masa lapisan es di Kutub Utara dan Selatan benar-benar mencair sehingga peningkatan permukaan air laut membuat kepulauan Jepang, Filipina, Karibia atau Fiji tenggelam? Atau memikirkan cara-cara penyelamatan lingkungan yang menurut saya efektif dari hanya sekedar satu orang yang tertib membuang sampah di tempatnya. Sungguh saya tak punya ide. Tapi saya setuju dengan perevisian Undang-Undang Kehutanan karena sempat dinilai gagal karena tak mampu mengusaikan konflik di tengah masyarakat mengenai pengelolaan hutan. Ini karena tidak diakuinya hukum adat dalam UU Kehutanan tersebut.
Selain itu, moratorium logging yakni perhentian sementara penebangan hutan demi merestorasi kawasan hutan, perlu dilakukan. Cara ini terbilang cukup efektif dalam menyelesaikan persoalan kehutanan, mulai dari penebangan liar sampai persoalan perekonomian rakyat setempat. Penjedaan ini harus dilakukan secara terstruktur dan bergilir agar salah satu hutan masih bia digunakan sebagai bahan insustrialiasasi. Sementara hutan lainnya wajib dilindungi dan tak lagi mampu terjamah oknum yang tak bertanggung jawab. Namun yang lebih penting dari kesemuanhya itu adalah menyalitas dari dalam pribadi masing-masing. Demi sebuah tujuan komunal adalah penting untuk menyatukan visi misi demi kesejahteraan khalayak ramai.
0 komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan komentar anda disini....