Sarjana Menganggur, Pendidikan Gagal
Oleh Dr. Ola Rongan Wilhelmus
———————————
Ola Rongan Wilhelmus, sarjana fillsafat pada STFK Ledalero, Maumere, meraih gelar master dalam ilmu sosiologi Universitas Filipina, Los Banos, Filipina (2002) dan PhD dalam ilmu perencanaan dan pembangunan masyarakat, Universitas Filipina Los Banos, 2008. Sekarang Dosen STKIP Widya Yuwana Madiun Peneliti Yayasan Bangun Insan Swadaya, Jawa Timur.
————————————
NON scholae sed vitae discimus. Demikian pepatah Latin. Artinya kita belajar bukan untuk sekolah melainkan untuk hidup. Ungkapan ini mempunyai pesan khusus bagi dunia pendidikan. Yaitu pendidikan tidak boleh berhenti di ruangan kelas/kuliah. Tetapi harus sambung dengan kebutuhan dan persoalan konkrit masyarakat lokal. Pendidikan perlu membumi!
Pepatah Latin itu membuat kita bertanya diri. Bagaimana realitas sosial kaum muda NTT yang tergolong berpendidikan saat ini? Apa yang terjadi atas diri mereka selepas dari perguruan tinggi? Sanggupkah mereka memberikan solusi secara kreatif atas persoalan dan kebutuhan masyarakat lokal dimana mereka hidup?
Problematika Pendidikan
Tidak tersangkal, fenomena sosial NTT menunjukkan banyak sarjana saat ini menganggur. Alasannya pasti bermacam ragam. Namun satu dari alasan paling mendasar ialah karena tidak punya kemampuan menciptakan sendiri lapangan kerja.
Telah menjadi gejalah umum dari tahun ke tahun. Puluan ribu pemuda NTT dari berbagai tingkat pendidikan dan disiplin ilmu berjuang keras berlomba-lomba merebut sekitar ratusan atau bahkan hanya puluhan posisi lowong pegawai negeri sipil.
Mengapa begitu bergelora menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dari pada berwirausaha? Padahal berwirausaha itu berpeluang mendapat duit lebih banyak dari pada menjadi PNS, dan sekaligus berpotensi besar membuka lapangan kerja baru bagi orang lain. Kita butuh riset tentang fenomena ini! Coba dihitung. Berapa banyak sarjana baru kita tahun ini yang berpikir serius dan mulai mencoba ciptakan sendiri lapangan kerja di tengah masyarakat?
Patut disayangkan! Ilmu yang dipelajari bertahun-tahun lamanya ternyata tidak cukup menyulap mereka berpikir kreatif, menciptakan lapangan kerja dan menjadi lebih mandiri. Konyolnya, selepas dari perguruan tinggi, mereka malah tambah konsumptif. Artinya berlomba-lomba merebut lowongan kerja yang diciptakan pihak negara atau swasta. Pada titik ini, output pendidikan kita baru hanya mampu melahirkan ‘sarjana pencari kerja’ dan bukannya pencipta kerja.
Akar Permasalahan
Menyimak fenomena sosial pendidikan itu, kita pantas bertanya: di manakah letak akar permasalahannya? Tentunya kita bisa temukan banyak faktor di balik gejalah ini kalau mulai menganalisisnya.
Tapi kali ini kita cukup soroti dulu faktor yang berkaitan dengan model pendidikan yang kurang sambung dengan persoalan dan kebutuhan lokal. Melirik praktek pendidikan saat ini, tidak sulit ditemukan bahwa proses pendidikan dan pengajaran pada banyak sekolah dan perguruan tinggi masih tetap terfokus pada persoalan transfer serta penghafalan pengetahuan teoritis dan abstrak sebatas buku-buku teks atau diktat.
Pengajar (guru/dosen) masuk kelas lalu menjejali pikiran maha (siwa) dengan pengetahuan informatif dan teoritis melulu dari buku-buku teks. Habis perkara! Proses pendidikan berlangsung dalam kondisi guru/dosen dan buku teks-sentris. Dalam actus pendidikan ini, tidak ada minat dan perhatian sama sekali terhadap prinsip partisipasi guru-murid. Yang ada cuma monopoli guru dan buku teks. Kalau partisipasi saja tidak ada, jangan harap mau omong soal relevansi pendidikan dengan kebutuhan masyarakat.
Paolo Freire (1921-1997) menilai sistem ini sebagai sistem pendidikan ala bank (the banking system of education) di mana maha (siswa) diposisikan sebagai deposito kosong yang harus diisi oleh si guru/dosen yang pintar.
Freire mengritik habis-habisan sistem pendidikan ini. Sebab bertentangan dengan hakekat maha (siswa) sebagai insan yang terbuka dan aktip belajar. Maha (siswa) bukan karung kosong (benda mati) yang bisa diisi sesuka hati dengan apa saja oleh si pintar-guru.
Sejalan dengan Freire, filsuf dan ahli pendidik Alfred North Whitehead, menggagas bahwa pendidikan tidak sekadar melakukan transfer ilmu, melainkan memberi kemampuan tertentu kepada peserta didik agar sanggup mencarikan solusi secara kreatif atas persoalan hidup sehari-hari.
Seorang teman (anak daerah) menggambarkan secara menarik kondisi pendidikan di NTT saat ini lewat sebuah anekdot tentang jagung. Katanya, tingkat pendidikan kita baru sampai pada titik memberi teori ala kadarnya tentang jagung dan bagaimana menanam jagung. Tetapi belum sampai mendorong peserta didik berani turun ke lapangan, mengolah tanah, memilih bibit jagung unggul, menanam dan merawatnya sampai berhasil. Kemudian menjualnya dengan harga tinggi atau mengolahnya menjadi bahan makanan enak yang bisa terjual habis.
Pendidikan yang Membumi
Menilik problematika, output dan pokok permasalahan pendidikan itu, maka actus pendidikan ke depan perlu lebih membumi. Artinya ide dan teori yang diajarkan perlu punya relevansi dengan kebutuhan dan persoalan konkrit.
Misalmya, persoalan keadaan tanah yang tandus, kemiskinan, potensi pertanian dan kelautan yang perlu digarap agar menjadi kekayaan rill yang bisa dinikmati, kesehatan dan persoalan pendidikan setempat. Teori perlu diaktualisasikan dalam tindakan nyata.
Dalam konteks pendidikan yang membumi ini, proses pendidikan perlu menjaga perimbangan antara teori dan praktek kehidupan. Aristotles (384-322 BC) dalam Treatise on Education memberi penekanan kuat terhadap keseimbangan antara aspek teoritis dan praktis dari pendidikan. Rudolf Steiner (1861-1925) menegaskan, pendidikan tidak boleh mengutamakan perkembangan aspek intelektual melulu tetapi juga praktis, kreativitas dan kebebasan manusia. Reproduksi pendidikan yang tidak memperhatikan aspek aktualitas atau relevansi pendidikan dengan hidup, persoalan dan kebutuhan masyarakat lokal adalah pendidikan yang gagal.
Secara sosial, pendidikan yang bersentuhan dengan teori dan wacana semata-mata tanpa peduli akan kontekstualisasi dan aplikasi konkrit merupakan pendidikan yang tidak bertanggung jawab.
Mengapa tidak bertanggung jawab? Sebab model pendidikan seperti ini tentunya tidak akan menghasilkan generasi baru yang memiliki kepekaan sosial serta rasa tanggung jawab tinggi terhadap hidup dan kemajuan masyarakat. Sebaliknya menghasilkan manusia konsumptif, apatis dan egoistik. *
TULISAN INI TELAH DIMUAT DALAM KOLOM OPINI POS KUPANG /2008/11/06/
[sumber]
0 komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan komentar anda disini....